Mekongganews.id, KOLAKA – Sejumlah tokoh dan akademisi menyerukan penolakan terhadap penerapan skema Power Wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
Seruan ini disampaikan dalam diskusi publik bertajuk “Tolak Penerapan Skema Power Wheeling dalam RUU EBET” yang digelar di Jakarta pada Selasa, 3 September 2024.
Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, menegaskan bahwa skema Power Wheeling dalam RUU EBET sarat dengan kepentingan oligarki. Ia mendorong Presiden terpilih, Prabowo Subianto, untuk segera menolak skema tersebut.
“Prabowo sebagai presiden terpilih mestinya sejak sekarang sudah mulai berbuat bagi negara dan rakyat, agar skema tidak adil, liberal, pro oligarki, dan pro asing ini tidak diimplementasikan dalam UU EBET,” ujar Marwan Batubara.
Marwan menjelaskan bahwa selain melanggar konstitusi dan berbagai peraturan yang berlaku, penerapan skema Power Wheeling juga akan merugikan keuangan negara dan BUMN serta menambah beban biaya hidup masyarakat.
“Skema Power Wheeling ini melanggar konstitusi, merugikan keuangan negara dan BUMN, serta menambah beban biaya hidup rakyat,” tambahnya.
Menurut Marwan, skema ini memberikan peluang kepada perusahaan swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk merebut pelanggan premium PLN yang biasanya membutuhkan daya tinggi dan membayar tagihan listrik besar. Hal ini akan mengurangi pendapatan PLN, mengurangi kemampuan subsidi silang kepada rakyat miskin, serta menaikkan tarif listrik dan beban subsidi energi dalam APBN.
“Pemaksaan kebijakan skema Power Wheeling diduga sarat moral hazard, yang dapat berlanjut dengan pembangunan pembangkit listrik EBET milik swasta atau IPP tanpa memperhatikan kondisi over supply listrik, atau mematikan PLTU yang masih layak beroperasi. Ini akan menyebabkan kenaikan biaya operasi PLN dan akhirnya tarif listrik rakyat meningkat serta beban subsidi listrik APBN naik,” tegas Marwan.
Riki Ibrahim, Dosen Program Magister Energi Baru Terbarukan Universitas Darma Persada, turut menyampaikan bahwa skema Power Wheeling akan menciptakan disparitas harga listrik yang lebih mahal dari yang telah diatur oleh pemerintah, yang berpotensi merugikan pemasukan negara.
“Disparitas harga listrik yang lebih mahal dari regulasi pemerintah akan menimbulkan permasalahan baru yang dapat merugikan pemasukan negara,” kata Riki.
Ia juga menambahkan bahwa Power Wheeling seharusnya hanya diperkenankan untuk pembangkit atau penjual energi terbarukan, di mana pembelinya juga merupakan satu badan usaha sehingga tidak terjadi pasar bebas.
“Power Wheeling malah memicu terjadinya ‘power trading’ dalam wilayah usaha PLN, kecuali jika PLN tidak ada di kawasan tersebut,” ungkap Riki.
Sementara itu, Kholid Syeirazi, Dosen Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI), menilai bahwa pasal Power Wheeling dalam RUU EBET adalah bagian terselubung dari upaya liberalisasi sektor kelistrikan nasional melalui agenda transisi energi.
“Power Wheeling adalah selubung parsial dari agenda liberalisasi yang menunggangi agenda transisi energi,” ujarnya.
Menurut Kholid, jika diterapkan, skema ini akan memiliki tiga dampak negatif utama: menggerus pelanggan PLN, stagnasi jaringan transmisi dan distribusi listrik, serta peningkatan over supply dan beban take or pay (TOP) yang harus ditanggung oleh PLN.
“Setidaknya ada tiga dampak negatif dari Power Wheeling: penggerusan pelanggan PLN, stagnasi jaringan transmisi dan distribusi, serta kenaikan over supply dan beban TOP PLN,” jelas Kholid. (*)