Mekongganews.id, KOLAKA – Praktik politik uang atau money politic sering menjadi masalah dalam proses pemilihan umum. Perlu diingat bahwa tindakan ini melanggar hukum dan dapat berujung pada sanksi pidana sesuai peraturan yang berlaku.
Menariknya, terdapat perbedaan sanksi antara pelaku politik uang dalam pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada), di mana sanksinya lebih berat pada pilkada.
“Di Pilkada, sanksi bagi pelaku politik uang lebih berat daripada di Pemilu,” ungkap Titi Anggraini, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), saat memberikan pernyataan di Jakarta.
Berdasarkan Pasal 187A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, pelaku politik uang, baik pemberi maupun penerima, dapat dikenai hukuman di setiap tahapan pilkada.
Sanksi berlaku tidak hanya pada masa kampanye atau hari pemungutan suara, tetapi juga pada seluruh tahapan pilkada.
“Sanksinya adalah pidana penjara minimal 36 bulan (3 tahun) dan maksimal 72 bulan (6 tahun) serta denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar,” jelas Titi.
Ia menambahkan bahwa penerima politik uang juga akan dikenakan sanksi yang sama.
“Bayangkan, hanya karena menerima uang Rp100 juta, bisa dikenai denda Rp200 juta dan hukuman penjara 3 sampai 6 tahun,” tegasnya.
Titi pun mengingatkan masyarakat untuk lebih waspada terhadap ancaman sanksi dan tidak tergoda melakukan politik uang, mengingat dalam banyak kasus, pelaku utama sering lolos dari jeratan hukum.
“Biasanya, aktor intelektualnya tidak tersentuh. Yang bisa diproses hanya operator lapangan. Dan tindak pidana politik uang menempati urutan kedua pelanggaran paling banyak pada Pilkada 2020,” ungkapnya.
Sementara itu, pelanggaran tertinggi dalam pilkada, menurut Titi, adalah terkait netralitas aparatur sipil negara (ASN) dan kepala desa.
Dengan sanksi yang lebih berat dan ancaman pidana yang serius, masyarakat diharapkan lebih waspada dan menolak segala bentuk politik uang dalam pilkada demi terciptanya proses pemilihan yang bersih dan adil.