Oleh : Iswadi Amiruddin, S.Sos., M.AP
Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, baik di tingkat provinsi dan kabupaten kota, semestinya membuka luas ide serta gagasan demi kemajuan di masing-masing daerah pemilihan termasuk di Kabupaten Kolaka.
Salah pilih, menyesal kemudian. Memilih kepala daerah berarti menitipkan arah pembangunan daerah ke depan, yang juga menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk kita. Kualitas adalah nomor satu. Utamanya, gagasan dan agenda kerja bukan politik transaksional dan politisasi identitas. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 adalah momentum untuk koreksi dan perbaikan. Tentukan ke mana daerah kita akan melangkah.
Di sisi lain, Pilkada 2024 hanya sekadar politik gimik dan pencitraan politisi daerah untuk meraih kekuasaan daerah. Baliho-baliho yang terpampang di sepanjang jalan tanpa narasi dan gagasan menunjukkan isi kepala politisi daerah.
Pilkada tidak hanya dilihat dari kontestasi elektoral dan kedaulatan rakyat, tetapi pilkada adalah persoalan pembangunan. “Kematangan proses demokratisasi menjadi kunci agar kita mencapai cita-cita bersama untuk Kolaka yg lebih maju”
Penyelenggaraan pilkada tidak hanya berbicara dari perspektif elektoral saja. “Bicara tentang penyelenggaraan pilkada, tentunya merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak hanya melihat sebagai kontestasi elektoral, atau semata-mata dalam perspektif kedaulatan rakyat, tetapi ada hal yang paling penting adalah pada persoalan pembangunan yang berkelanjutan.
Khususnya pada Kabupaten Kolaka sudah mulai bermunculan para kandidat yang bersaing pada Pilkada mendatang. Harapan calon kepala daerah tersebut dapat mengadu gagasan dan program terkait pembangunan, pendidikan, ekonomi yang ada di Kabupaten Kolaka.
Kalau kita lihat dinamika politik khususnya di pemilihan Bupati Kolaka, terdapat dua pasangan calon yang sudah mendeklarasikan dan mendaftarkan diri sebagai bakal calon Bupati dan Wakil Bupati di KPU Kabupaten Kolaka yaitu pasangan H.Amri Jamalauddin, S.STP., M.Si-H.Husmuluddin, S.Kom, kemudian pasangan H. Muh Jayadin, SE., MM-Deni Germanto Lisan, SH. Lalu, hal strategis apa yang akan didapat oleh Masyarakat Kabupaten Kolaka, selain pasti akan menghasilkan Bupati dan Wakil Bupti dari perhelatan Pilkada ini? Nampaknya ini pertanyaan yang serius harus dijawab, agar Pilkada tidak hanya rutinitas pemilihan pemimpin di daerah.
Secara teori, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan mekanisme demokratis untuk menentukan pemimpin yang akan menjadi nahkoda dalam menjalankan pembangunan selama 5 tahun. Oleh karenanya, memilih Bupati dan Wakil Bupati dilakukan dengan rasional. Untuk menjadi pemilih yang rasional memerlukan informasi yang cukup tentang calon yang akan dipilih.
Informasi yang utama adalah soal visi dan misi dari masing-masing calon, ini sebagai salah satu indicator atau pertimbangan utama bagi pemilih. Pentingnya mengetahui visi dan misi, karena diharapkan bupati yang terpilih dapat memberikan solusi kebijakan terhadap masalah-masalah pembangunan yang dihadapi di Kabupaten Kolaka, terutama masalah-masalah pada sektor pertambangan, Pendidikan, social-ekonomi dan terlebih lagi pada peningkatan kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Kolaka.
Berdasarkan data BPS Kabupaten Kolaka, tahun 2021 masih terdapat 33.450 (ribu) penduduk miskin, 2022 terdapat 31.560 serta tahun 2023 mengalami kenaikan sebanyak 32.960 (ribu) penduduk miskin. Sekilas dengan melihat data tersebut, kinerja pembangunan di Kabupaten Kolaka masih menyisakan persoalan, yaitu bagaimana mendorong adanya pertumbuhan yang berkualitas. Karena dengan melihat data tersebut mengindikasikan bahwa belum terjadi pemerataan pendapatan masi tingginya angka kemiskinan. Ini merupakan pekerjaan rumah yang berat bagi calon bupati terpilih nantinya, mendorong pemerataan ekonomi sehingga masyarakat Kabupaten Kolaka memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati pembangunan.
Dengan memahami bagaimana visi dan misi calon bupati, kita sebagai pemilih akan mendapat gambaran strategi masing-masing calon untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Selain itu, ruang-ruang diskusi Pilkada akan menjadi hidup dan strategis, tidak hanya dipenuhi intrik politik yang terkesan saling menjatuhkan masing-masing calon yang merupakan pendidikan politik yang tidak baik. Pemilih yang rasional itu tidak terpengaruh dengan latar belakang calon, terutama latar belakang keturunan, nasab dll. Tetapi, pemilih harus melihat program kerja yang ditawarkan untuk menyelesaikan problem-problem sosial dan kesejahteraan.
Resiko Politik Pencitraan
Dengan tinggi tingkat sumber daya manusia di daerah serta pemahaman politik masyarakat yang kuat. Kegiatan Politik Pencitraan selalu mendapatkan hambatan, itu semua banyak masyarakat yang mengetahui secara langsung maksud dan tujuan dari para elit politik melakukan hal seperti itu, dan tidak sedikit pula tindakan politik pencitraan berujung dari sebuah kata ejekan. Ketidakcocokan gaya politik pencitraan di suatu daerah akan meimbulkan dampak yang negatif bagi para elite politik itu sendiri. Apa yang mereka lakukan hanya sekedar skenario saja.
Mengutif dari Walter Lippman bahwa kata citra merupakan sebuah persepsi akan sesuatu yang ada di benak seseorang (pictures in our heads) dan itu tidak selamanya sesuai dengan realitas sesungguhnya.
Kurangnya Ide Dan Gagasan Calon Pemimpin Daerah
Dampak dari gaya politik pencitraan banyak calon pemimpin daerah tak lagi memikirkan ide dan gagasan yang di tawarkan kepada masyarakat. Merekan tidak berbicara bagaimana daerah bisa maju jika di pimpin mereka kedepan. Politik pencitraan bisa membuat salah dampak buruk bagi kemajuan daerah. Ideologi, visi-misi, dan program yang harusnya menjadi panduan rakyat memilih calon pemimpin, kini sepertinya telah bergeser hanya personal saja, jika terpilihpun akan melahirkan pemimpin yang hanya berdasar preferensi emosional rakyat sesaat, namun tidak mampu menuntaskan persoalan utama Daerah.
Maraknya politik pencitraan membawa kekhawatiran tersendiri bagi Jon Simons. Dalam bukunya The Power of Political Images (2006), Simons menganggap bahwa politik demokratis modern adalah politik pencitraan, di mana persoalan penampilan lebih dari substansi, dan kepribadian lebih penting daripada kebijakan.
Kepala daerah kunci pembangunan daerah
Lima tahun berjalan, kita sebagai warga seharusnya bisa merasakan perkembangan daerah. Mengalami kemunduran, jalan di tempat, atau berproses menuju kemajuan. Patokannya bisa mengacu pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM)—kualitas hidup—setiap Kabupaten. Sebagai contoh, di Kabupaten Kolaka yang IPM-nya di bawah rata-rata nasional.
Adalah soal jika selama lima tahun ini suatu daerah/kabupaten berjalan di tempat atau bahkan berjalan mundur. Patut dipertanyakan peran kepala daerah sebagai nakhodanya. Dia adalah kunci sekaligus penentu arah dari pembangunan suatu daerah. Apakah dia telah membawa daerah ke jalan yang “benar”?
Kita sebagai pemilih juga perlu berefleksi. Pada Pilkada-Pilkada lalu, pemimpin seperti apa yang kita pilih dan bagaimana cara kita memilihnya. Penting untuk tidak melulu menyalahkan kinerja sang pemimpin, tapi juga mengoreksi cara kita berpolitik selama ini sehingga melahirkan pemimpin terpilih seperti itu.
Menjadi Pemilih Cerdas
Bagaimana masyarakat memilih dengan cerdas sehingga melahirkan pemimpin yang berkualitas? Memilih dengan cerdas, berarti memilih dengan menggunakan akal sehat dan hati nurani. Memilih dengan akal sehat, berarti kita memilih dengan menggunakan penilaian yang objektif, tanpa dipengaruhi oleh faktor uang, hubungan kekerabatan, suku, daerah, agama, dll. Memilih dengan hati nurani, berarti kita harus melihat dengan hati nurani kita, siapa sebenarnya calon yang akan kita pilih, bagaimana kualitas moralnya, kualitas intelektualnya dan keterampilan profesional yang dimilikinya.
Menurut beberapa pakar, ada lima tips supaya kita menjadi pemilih yang cerdas, yaitu:
- Gunakanlah hak pilih Anda. Satu suara akan sangat berguna bagi terpilihnya calon yang baik.
- Cermatilah visi, misi dan program kerja yang ditawarkan oleh para calon bupati dan wakil bupati.
- Cermati juga apakah dia lebih banyak mendengarkan keluhan masyarakat
- Selidikilah moral dan etika para calon, apakah pernah tersangkut masalah hukum seperti korupsi dll.
- Cermatilah hal-hal teknis dalam Pilkada. M Contohnya, cara menyoblos yang benar.
Kesadaran pemilih tentang perlunya mencermati secara cerdas para kandidat adalah kunci utama terpilihnya pemimpin yang akan bisa mengatasi persoalan rakyat. Hal inilah yang seharusnya terus ditumbuhkan oleh kita semua sebagai masyarakat. Dengan menjadi pemilih yang cerdas dan sadar akan semakin mendekatkan pada terwujudnya Pilkada yang berkualitas. Tak sekadar ritual tahunan yang memakan biaya amat tinggi. Semoga!
Apa ide anda, apa gagasan anda, apa inovasi anda, supaya permasalahan yang bertahun-tahun tidak pernah tuntas bisa di selesaikan oleh anda wahai calon pemimpin.
Mari sajikan ide dan gagasan serta inovasi kepada masyarat, sehingga masyarakat mampu mecerna calon mana yang baik untuk mereka pilih
Jika ini di terapkan, Semakin banyak calon pimpinan daerah kedepan, semakin kaya ide dan gagasan serta inovasi kepada masyarakat, hal ini juga membuat dampak yang positif baik bagi daerah serta membuat ruang berpikir masyarakat menjadi cerdas untuk memilih calon pemimpin mereka kedepan. (Iswadi Amiruddin)