Mekongganews.id, KOLAKA – Indonesia kini menjadi pemain dominan dalam industri nikel global, dengan kontribusi produksi olahan nikel sebesar 57 persen dari total produksi dunia, menurut catatan agensi internasional pelaporan harga komoditas, Fastmarkets.
Hal ini didorong oleh kebijakan Pemerintah Indonesia yang menghentikan ekspor bijih nikel mentah pada tahun 2020, yang berdampak pada lonjakan signifikan dalam produksi nikel olahan, seperti nikel pig iron, mixed hydroxide precipitate, dan nickel matte.
“Setelah pelarangan ekspor bijih nikel, terjadi peningkatan besar-besaran dalam produksi nikel olahan,” ungkap analis Fastmarkets, Olivier Masson, dalam International Critical Minerals and Metals Summit di Bali, Kamis (5/8).
Dia juga memproyeksikan bahwa produksi nikel olahan Indonesia akan terus meningkat dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 8,1 persen hingga tahun 2028.
Pada tahun 2028, Indonesia diprediksi memegang kendali atas 85 persen pasokan produk antara nikel global, naik dari 67 persen saat ini.
Meski demikian, Masson mengungkapkan kekhawatirannya terkait kemampuan tambang nikel di Indonesia dalam memenuhi kebutuhan industri pengolahan nikel yang terus tumbuh, terutama karena sempat terhambatnya persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) di awal tahun ini.
Dampak Global dari Dominasi Indonesia
Dominasi Indonesia di pasar nikel telah memberikan dampak signifikan terhadap harga nikel di pasar global.
Harga nikel di London Metal Exchange (LME) terus tertekan, di mana pada 3 September 2023 harga nikel tercatat berada di angka USD 16.462 per ton, turun 47,10 persen dari harga USD 31.118 per ton pada awal tahun.
Akibat penurunan harga dan tingginya biaya produksi, beberapa operasi nikel di negara-negara Barat harus ditutup sejak 2023.
Biaya produksi di negara-negara Barat yang berkisar antara USD 15.500 hingga USD 21.000 per ton membuat mereka kesulitan bersaing dengan produsen Indonesia yang memiliki biaya lebih rendah.
Beberapa produsen Barat mulai mempertimbangkan opsi untuk mendirikan pabrik di Indonesia demi menekan biaya operasional.
Saat ini, industri nikel di Indonesia didominasi oleh investor Tiongkok, namun Pemerintah Indonesia berupaya menarik investor Barat guna mengurangi dominasi Tiongkok dan meningkatkan kepatuhan terhadap undang-undang pengurangan inflasi AS (IRA).
“Keterlibatan Tiongkok yang signifikan dan tidak adanya perjanjian perdagangan bebas dengan Amerika Serikat membuat nikel Indonesia tidak mematuhi IRA,” tutup Masson.