Mekongganews.id, KOLAKA- Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, mengungkapkan bahwa penetapan Sekretaris Jenderal PDI-Perjuangan, Hasto Kristiyanto, sebagai tersangka dalam kasus Harun Masiku bukanlah hal yang mengejutkan.
“Memang kasus ini sebenarnya sudah lama, dan masa Pimpinan KPK sebelumnya tidak melakukan kewajiban dengan apa adanya,” ujar Novel kepada wartawan pada Kamis, 26 Desember 2024.
Menurut Novel, KPK sebenarnya telah memiliki bukti sejak 2020 untuk menetapkan Hasto sebagai tersangka. Namun, langkah tersebut tidak dilakukan oleh pimpinan KPK kala itu.
“Padahal, seingat saya bahwa sejak awal tahun 2020 waktu OTT sudah diusulkan oleh penyidik untuk Hasto berdasarkan bukti-bukti bisa menjadi tersangka,” jelas Novel. “Tetapi saat itu Pimpinan KPK tidak mau, dan meminta Harun Masiku tertangkap dulu,” lanjutnya.
Novel menekankan pentingnya pemrosesan kasus ini secara objektif agar tidak menciptakan persepsi publik adanya kepentingan politik.
“Menurut saya semua kasus mesti diproses apa adanya, karena ketika tidak diproses dengan apa adanya oleh Pimpinan KPK sebelumnya maka yang terjadi seperti sekarang yaitu menjadi persepsi seolah ada kepentingan politik,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua KPK Setyo Budiyanto telah secara resmi menetapkan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka terkait kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) Harun Masiku.
Dalam keterangannya, Setyo menjelaskan bahwa Hasto bersama Harun dan beberapa pihak lainnya diduga memberikan suap kepada mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan Agus Setiani.
“Perbuatan saudara HK bersama-sama saudara HM dan kawan-kawan dalam memberikan suap kepada Wahyu Setiawan dan Agus Setiani. Yang pertama, HK menempatkan HM pada dapil 1 Sumsel padahal HM berasal dari Sulawesi Selatan tepatnya dari Toraja,” ujar Setyo pada Selasa, 24 Desember 2024.
Sebelumnya, KPK juga memeriksa mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly terkait perkara ini. Dalam keterangannya, Yasonna mengaku dicecar soal surat yang dikirimkan oleh DPP PDIP ke Mahkamah Agung (MA) terkait perbedaan tafsir penetapan caleg yang sudah meninggal pada Pemilu 2019.
“Kapasitas saya sebagai Ketua DPP. Ada surat saya kirim ke KPU tentang, eh ke Mahkamah Agung (MA), untuk permintaan fatwa,” kata Yasonna di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Rabu, 18 Desember 2024.