Oleh: Ihwan Kadir
Saya, seorang orang desa yang hidup dalam keseharian yang awam di Blok Lapao-pao, telah mendengar nama “Smelter Merah Putih” sejak beberapa tahun lalu. Awalnya, saya menduga keras bahwa ini hanyalah proyek industri biasa, lazimnya smelter-smelter milik Asing yang bertebaran di Morowali atau Halmahera sana. Bagaimana mungkin sebuah perusahaan tambang, bicara “Merah Putih?”
Tetapi seiring perguliran waktu, dan ketika mulai mengenal sosok di baliknya, di balik Proyek Smelter Merah Putih itu, Bapak H. Atto Sakmiwata Sampetoding, saya lalu melihat sesuatu yang lebih mendalam. Proyek ini bukan sekadar fasilitas pemurnian nikel, tetapi simbol nyata tentang keberanian anak bangsa untuk berdiri di atas kaki sendiri, seakan melawan arus kapitalistik global.
Dan kini, muncul lagi nama “Kabinet Merah Putih” di bawah Presiden Prabowo Subianto, disini saya berusaha membangun optimisme, semoga saja ini pula adalah sebuah penamaan yang tidak sekadar menempel pada warna bendera Republik Indonesia itu, tetapi benar-benar pula mewakili kehormatan Indonesia untuk berdiri tegak sebagai bangsa yang berdaulat. Sesuatu yang 10 tahun belakangan ini terasa telah hilang.
Smelter Merah Putih yang sedang dibangun oleh Ceria Group, perusahaan swasta milik pribumi ini, dari apa yang saya pahami, adalah upaya pemerdekaan pengelolaan kekayaan alam kita dari dominasi modal asing. Ia adalah langkah konkret tentang impian untuk mengelola industri nikel dengan sepenuhnya bertumpu pada Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Proyek ini, khususnya bagi masyarakat di kampung saya, tidak hanya telah menciptakan pekerjaan, memberi harapan hidup yang lebih baik, tetapi lebih dari itu, ia membangkitkan kembali rasa bangga mereka yang selama ini telah hilang atas kekayaan negeri ini.
Bayangkan jika dalam tahun 2024 ini, target commisionig proyek ini benar-benar terwujud. Bagi saya, ini sungguh sesuatu yang luar biasa. Lebih dari sekadar proyek bisnis ekonomis, ini adalah bukti, bahwa kebangkitan kedaulatan Sumber Daya Alam (SDA) kita telah di depan mata. Di sinilah saya melihat satu titik temu antara Smelter Merah Putih dan Kabinet Merah Putih. Keduanya seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Smelter berdiri sebagai lambang kemandirian industri, sementara kabinet baru membawa visi besar untuk memperkokoh kemandirian ekonomi nasional.
Dan percayalah! ini bukan kebetulan semata; seakan alam menunjukkan jalur keteraturan dalam hukum-hukum alamnya: ketika gravitasi menyatukan benda-benda, ketika elektromagnetisme mengikat atom, maka Smelter dan Kabinet Merah Putih bergerak selaras untuk kepentingan lebih besar.
Tantangan kita bukan hanya soal teknologi atau modal. Ia jauh lebih dalam. Kita perlu kebijakan yang tidak hanya mengakomodasi investasi asing tapi juga menumbuhkan investasi domestik yang kuat, sebagaimana diupayakan dalam proyek ini. Jika Kabinet Merah Putih benar sebagai sebuah kabinet yang peka terhadap cita-cita mandiri ini, maka ia harus memperkuat ketahanan “kenekatan’ Smelter Merah Putih dengan kebijakan fiskal yang jelas, regulasi yang stabil, serta percepatan infrastruktur untuk menjadi penopang ekonomi lokal dan nasional. Saya berangan-angan, bahwa suatu hari nanti, kita akan memiliki bangsa yang berani menolak utang demi kedaulatan, bangsa yang memprioritaskan kesejahteraan rakyat di atas laba Sumber Daya Alamnya semata.
Saya sungguh merindukan, bahwa kemandirian ekonomi bangsa ini bukanlah mimpi utopis. Ini soal keberanian Presiden saja untuk mengolah SDA kita sendiri, dengan tangan kita sendiri, tanpa dihantui rasa takut kehilangan kedaulatan. Dan di sinilah Smelter Merah Putih dan Kabinet Merah Putih berperan sebagai lokomotif yang mengarahkan kita pada kebangkitan yang sebenarnya. Sekali lagi, khususnya bagi saya pribadi, nama “Merah Putih” adalah pesan mendalam yang memanggil hati setiap rakyat yang rindu melihat Indonesia berdaulat lagi.
Indonesia yang bukan hanya besar dalam jumlah penduduk dan luas geografis, tapi juga besar dalam kemandiriannya sebaga bangsa yang merdeka. Nama ini, “Merah Putih,” membuat saya merasa semakin hidup, seakan doa rakyat kecil sepeti saya yang hidup di pelosok terpencil ini, akhirnya menemukan jawaban. (Ihwan Kadir)